Banyak pasangan mempertanyakan apakah hukum Indonesia memperbolehkan perkawinan beda agama dan apakah negara dapat mencatatkannya secara resmi. Oleh karena itu, pembahasan ini perlu menjelaskan aturan hukum yang berlaku saat ini, termasuk perkembangan terbaru dari Mahkamah Agung.
Apakah Perkawinan Beda Agama Diperbolehkan di Indonesia?
Pada prinsipnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak memberikan ruang langsung bagi perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan mensyaratkan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Karena itu, negara tidak dapat mencatatkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat sah menurut agama. Akibatnya, perkawinan beda agama menghadapi kendala serius dalam proses pencatatan administratif.
Pentingnya Pencatatan Perkawinan oleh Negara
Negara mencatat perkawinan untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri. Melalui pencatatan, negara menjamin kepastian hukum atas nafkah, hak asuh anak, pembagian harta bersama (gono-gini), serta status hukum anak.
Untuk umat Islam, negara mencatat perkawinan melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Sementara itu, negara mencatat perkawinan umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan melalui Kantor Catatan Sipil.
Oleh sebab itu, tanpa pencatatan, pasangan kehilangan perlindungan hukum secara penuh.
Praktik Lama: Pencatatan Perkawinan Beda Agama Melalui Pengadilan
Sebelum tahun 2023, sebagian pasangan beda agama mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri. Dasar praktik ini berasal dari Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986.
Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil hanya bertugas mencatat perkawinan, bukan mengesahkan perkawinan secara agama. Oleh karena itu, sebagian hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama melalui penetapan pengadilan.
Namun, praktik ini tidak bersifat seragam dan sangat bergantung pada penilaian hakim.
Kemudian dalam perkembangannya, Pasangan beda agama mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan agar Kantor Catatan Sipil mencatat perkawinan mereka. Permohonan ini berlandaskan Pasal 35 ayat (1) huruf a UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal tersebut menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Penjelasan pasal ini secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan antarumat yang berbeda agama.
Meskipun demikian, hakim tetap menilai setiap permohonan secara kasuistis. Oleh sebab itu, pengadilan dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut berdasarkan pertimbangan hukumnya.
Larangan Mengesahkan Perkawinan Beda Agama dalam SEMA No. 2 Tahun 2023
Pada tahun 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Melalui SEMA ini, Mahkamah Agung memberikan pedoman yang mengikat bagi para hakim. SEMA tersebut menegaskan dua hal penting.
Pertama, Mahkamah Agung menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan ini merujuk langsung pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, Mahkamah Agung secara tegas memerintahkan agar pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Dengan berlakunya SEMA No. 2 Tahun 2023, Pengadilan Negeri tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengesahkan atau memerintahkan pencatatan perkawinan beda agama melalui penetapan pengadilan.
Akibatnya, jalur pengadilan yang sebelumnya digunakan oleh sebagian pasangan beda agama kini tertutup secara hukum.
Apakah Perkawinan Beda Agama Masih Bisa Dicatatkan?
Setelah berlakunya SEMA No. 2 Tahun 2023, pencatatan perkawinan beda agama di dalam negeri menjadi semakin terbatas. Namun, hukum masih mengenal satu jalur lain yang sering digunakan dalam praktik.
Melangsungkan Perkawinan di Luar Negeri
Sebagian pasangan memilih melangsungkan perkawinan di luar negeri yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Setelah itu, pasangan mendaftarkan perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia.
Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan yang dilakukan di luar negeri dapat diakui di Indonesia, sepanjang perkawinan tersebut sah menurut hukum negara setempat dan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Selain itu, pasangan wajib mendaftarkan perkawinan tersebut paling lambat 1 (satu) tahun setelah kembali ke Indonesia.
Meskipun demikian, jalur ini tetap mengandung risiko hukum, terutama apabila pejabat pencatatan menilai adanya pelanggaran terhadap asas perkawinan menurut agama.
Kesimpulan
Hukum Indonesia saat ini tidak membuka ruang pencatatan perkawinan beda agama secara langsung. Selain itu, sejak terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023, pengadilan tidak lagi dapat mengesahkan atau memerintahkan pencatatan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, pasangan beda agama perlu memahami risiko hukum secara matang sebelum menentukan langkah.
Konsultasi di Legal Keluarga
Jika Anda ingin berkonsultasi mengenai perkawinan beda agama, implikasi hukum administrasi kependudukan, atau langkah hukum yang masih memungkinkan, Anda dapat menghubungi Legal Keluarga.
📞 Telepon / WhatsApp: 0813-8968-6009
📧 Email: klien@legalkeluarga.id
🌐 Website: legalkeluarga.id