Undang-Undang Perkawinan menetapkan asas monogami. Artinya, seorang pria hanya boleh memiliki satu istri, dan seorang wanita juga hanya boleh memiliki satu suami. Oleh karena itu, hukum menempatkan poligami sebagai pengecualian yang hanya dapat berjalan jika suami memenuhi syarat yang ketat.
Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
Namun demikian, UU Perkawinan tetap membuka peluang poligami. Akan tetapi, suami harus memenuhi syarat dan prosedur yang undang-undang tentukan.
Syarat Poligami Menurut UU Perkawinan
UU Perkawinan mewajibkan suami meminta izin pengadilan sebelum ia menikah lagi. Selain itu, suami juga harus menyampaikan alasan yang logis agar pengadilan menerima permohonannya.
Suami dapat mengajukan poligami jika ia memiliki alasan berikut:
- Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai istri.
- Istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya, suami juga harus memenuhi syarat tambahan berikut:
- Suami memperoleh persetujuan istri pertama.
- Suami membuktikan kemampuan untuk menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya.
- Suami memberikan jaminan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Dengan ketentuan ini, pengadilan akan menolak permohonan poligami jika suami tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Karena itu, suami tidak bisa menjalankan poligami secara bebas.
Bagaimana Jika Suami Menikah Lagi Tanpa Persetujuan Isteri Pertama?
Jika suami melakukan perkawinan kedua berdasarkan agama yang ia anut, maka agama dapat menganggap perkawinan tersebut sah menurut ketentuan agama. Namun demikian, hukum negara tetap menuntut pencatatan perkawinan agar hubungan tersebut memiliki kepastian hukum.
Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan banyak risiko, terutama bagi istri dan anak.
Risiko Hukum Jika Suami Menjalankan Poligami Tanpa Pencatatan
Perkawinan yang tidak dicatatkan sering menimbulkan persoalan hukum. Selain itu, kondisi ini juga dapat merugikan pihak perempuan dan anak.
Sebagai contoh, perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan dampak berikut:
- Istri kesulitan menuntut nafkah untuk dirinya dan anak karena ia tidak memiliki bukti administratif perkawinan.
- Anak berisiko mengalami masalah status hukum karena hukum administrasi kependudukan sering meminta bukti perkawinan orang tua.
- Istri berisiko kehilangan posisi dalam sengketa harta bersama karena ia tidak memiliki dokumen perkawinan sebagai dasar klaim.
Dengan demikian, suami yang menikah lagi tanpa prosedur yang sah sering memunculkan masalah baru, baik secara perdata maupun administrasi.
Apakah Poligami Tanpa Persetujuan Isteri Pertama Dapat Menimbulkan Pidana?
Selain persoalan administrasi dan perdata, suami juga dapat menghadapi risiko pidana. Istri yang sah dapat melapor ke polisi jika suami melangsungkan perkawinan baru saat ia masih terikat perkawinan sebelumnya.
Pasal 279 KUHP mengatur tindak pidana terkait perkawinan yang melanggar halangan perkawinan. Pasal ini mengancam pidana penjara paling lama 5 tahun bagi pihak yang melakukan perkawinan padahal ia mengetahui adanya perkawinan yang menjadi penghalang yang sah.
Selain itu, pasal yang sama juga mengancam pidana penjara paling lama 7 tahun jika pelaku menyembunyikan fakta perkawinan yang telah ada kepada pihak lain.
Dengan ketentuan ini, suami tidak bisa menganggap pernikahan kedua sebagai urusan pribadi semata. Sebaliknya, suami harus memperhatikan konsekuensi pidana jika ia melanggar ketentuan hukum.
Pedoman Mahkamah Agung tentang Penerapan Pasal 279 KUHP
Mahkamah Agung juga memberikan pedoman bagi pengadilan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016. Pedoman ini menegaskan bahwa pengadilan dapat menerapkan Pasal 279 KUHP ketika suami menikah lagi dengan perempuan lain tanpa memperoleh izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi.
Dengan demikian, suami yang menjalankan poligami tanpa persetujuan istri pertama dapat menghadapi proses pidana, terutama ketika ia melakukan perkawinan kedua saat ia masih terikat perkawinan pertama.
Kesimpulan
UU Perkawinan menetapkan monogami sebagai asas utama. Namun, UU Perkawinan tetap mengizinkan poligami jika suami meminta izin pengadilan, memiliki alasan yang logis, dan memenuhi syarat, termasuk persetujuan istri pertama.
Sebaliknya, ketika suami menikah lagi tanpa persetujuan istri pertama dan tanpa prosedur hukum, suami dapat menghadapi risiko perdata, administrasi, dan bahkan pidana. Oleh karena itu, setiap pihak perlu memahami aturan poligami agar tidak menimbulkan konflik dan masalah hukum di kemudian hari.
Konsultasi di Legal Keluarga
Jika Anda ingin berkonsultasi mengenai perceraian, hak asuh anak, pembagian harta bersama (gono-gini), atau persoalan hukum akibat poligami, Anda dapat menghubungi Legal Keluarga.
📞 Telepon / WhatsApp: 0813-8968-6009
📧 Email: klien@legalkeluarga.id
🌐 Website: legalkeluarga.id