Artikel

Akibat Mengalihkan Harta Gono Gini Tanpa Persetujuan Bersama

Banyak pasangan mempertanyakan akibat hukum ketika salah satu pihak mengalihkan, menjual, atau menggadaikan harta gono-gini tanpa persetujuan bersama. Masalah ini sering muncul, terutama saat rumah tangga tidak lagi harmonis. Oleh karena itu, setiap suami dan istri perlu memahami aturan harta bersama sejak awal.

Pengertian Harta Gono-Gini Menurut Hukum

Harta gono-gini adalah harta yang suami dan istri peroleh selama perkawinan berlangsung. Dengan kata lain, hukum menggabungkan seluruh harta yang muncul selama perkawinan menjadi satu kesatuan.

Ketika perceraian terjadi, pengadilan pada umumnya membagi harta bersama secara adil. Pengadilan membagi harta tersebut menjadi dua bagian yang sama, yaitu setengah untuk mantan suami dan setengah untuk mantan istri. Oleh sebab itu, kedua pihak memiliki hak yang setara atas harta tersebut.

Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”

Kewajiban Persetujuan Bersama atas Harta Gono-Gini

Hukum melarang suami atau istri bertindak sepihak atas harta bersama. Oleh karena itu, setiap pihak wajib meminta persetujuan pasangan sebelum menjual, mengalihkan, atau menjaminkan harta gono-gini.

Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
“Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.”

Selain itu, Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam juga melarang tindakan sepihak. Pasal ini menegaskan bahwa suami atau istri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa izin pasangan.

Dengan ketentuan tersebut, hukum menempatkan persetujuan bersama sebagai syarat utama dalam setiap pengalihan harta gono-gini.

Akibat Hukum Jika Mengalihkan Harta Gono-Gini Tanpa Persetujuan

Jika salah satu pihak tetap mengalihkan harta bersama tanpa izin, maka pihak lain berhak menempuh jalur hukum. Secara umum, hukum memberikan dua pilihan, yaitu jalur pidana dan jalur perdata.

Akibat Hukum Pidana

Pihak yang dirugikan dapat melapor ke kepolisian apabila pasangannya menguasai atau memindahtangankan harta bersama secara melawan hukum. Dalam praktik, pelapor biasanya menggunakan dasar tindak pidana penggelapan.

Pasal 372 KUHP mengatur penggelapan dan menyebutkan bahwa seseorang yang dengan sengaja menguasai barang milik orang lain secara melawan hukum dapat dipidana. Oleh karena itu, tindakan mengalihkan harta gono-gini tanpa izin dapat menimbulkan konsekuensi pidana.

Akibat Hukum Perdata

Selain jalur pidana, pihak yang dirugikan juga dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Melalui gugatan tersebut, penggugat dapat meminta pembatalan atas penjualan, pengalihan, atau penjaminan harta bersama.

Mahkamah Agung telah menegaskan prinsip ini dalam berbagai putusan. Putusan MA RI No. 701 K/PDT/1997 menyatakan bahwa penjualan harta bersama tanpa persetujuan pasangan adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Selain itu, Putusan MA RI No. 3005 K/PDT/1998 menegaskan bahwa suami atau istri tidak boleh menjaminkan harta bersama tanpa persetujuan pasangan. Oleh sebab itu, pengadilan dapat membatalkan perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut.

Dengan demikian, pihak ketiga juga menanggung risiko hukum apabila menerima harta gono-gini tanpa persetujuan kedua pasangan.

Kesimpulan

Hukum mengakui harta gono-gini sebagai milik bersama suami dan istri. Oleh karena itu, setiap pengalihan harta bersama wajib memperoleh persetujuan kedua belah pihak. Jika salah satu pihak bertindak sepihak, maka pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur pidana dan perdata, termasuk meminta pembatalan transaksi di pengadilan.

Konsultasi di Legal Keluarga

Jika Anda menghadapi masalah pengalihan harta gono-gini, perceraian, hak asuh anak, atau sengketa harta bersama, Anda dapat berkonsultasi dengan Legal Keluarga.

📞 Telepon / WhatsApp: 0813-8968-6009
📧 Email: klien@legalkeluarga.id
🌐 Website: legalkeluarga.id

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?